Aku si pencabut nyawa melihat sebuah buku kehidupan dari kumpulan orangtua-orangtua berperut buncit, kaya, banyak akal, punya istri cantik yang haus uang, beberapa simpanan, dan menginginkan anak-anak yang semahal mutiara...
Aku telah selesai membaca semua bagian buku itu dan mulai bertanya-tanya...
Sebagai orangtua, apa yang kamu inginkan dari anak-anakmu?
Tentu saja dengan seenak jidatmu, kamu akan mengatakan: anakku harus pintar, baik, menurut, ganteng atau cantik dan berkecukupan.
Enak banget kamu kalau bicara,ya!
Ketika kamu menjadi orangtua dan seiring dengan pergerakkan umurmu, kekayaanmu semakin bertambah; maka keinginan seenak jidatmu itu makin menggelora.
Bisnismu makin hebat dan makin jagolah intuisimu.
Semakin hebat kamu, semakin bergaya lagak lagumu.
Selayaknya aku bunuh kamu selagi sempat.
Namun aku kasihan melihat anak-anakmu yang bertingkah laku selayaknya panah tak tentu arah. Itu karena kamu adalah busur yang mahal dan hebat ditangan pemanah kelas kambing.
Semakin aku memandang kesuksesanmu, semakin aku ingin mencabut nyawamu.
Saat paling tepat adalah ketika kamu selesai buang air besar di toilet mall.
Pastilah kamu akan mati dengan tenang menggelepar sembari mencium kotoranmu.
Kematian yang sangat menyentuh jiwa seorang businessman kelas kambing!
Saat kamu menjemput anakmu dari sekolahnya yang mahal,lagakmu seperti pemilik dunia ini. Satpam di depan hidungmu bagai bebek yang dapat kau usir setiap saat.
Dan lihatlah! anakmu berlari menuju mobilmu.
Anakmu bertampang idiot seperti ayahnya yang berperut buncit karena kekenyangan makan makanan restoran mahal dan melahap perempuan malam kelas hotel bintang lima yang kamu paksa bercinta denganmu sembari sedikit menunjukkan wajah kaget melihat dirimu yang tidak bersunat! Cuih!
Istrimu kamu dapat dari seleksi calon karyawan. Kamu biarkan istrimu kerja dikantormu sekian lama hanya untuk mengamati pantatnya berlenggak-lenggok di depanmu. Dasar otak ngeres!
Setelah itu kamu nikahi dia untuk kamu tinggalkan demi meeting bisnismu. Yang kamu mau tahu adalah begitu sampai di rumah, istrimu tetap terlihat sexy seperti ketika kalian baru saja menikah. Dasar buaya! Itu saja kamu masih tidak puas. Masih saja kamu pelihara simpanan di pinggir kota; bolehlah di depok atau di tangerang. Disana rumah masih murah, dan masih ada mall yang lumayan oke. Jijik!
Anakmu tidak seperti yang kamu idamkan. Anakmu kamu jemput seenak jidatmu tanpa mau tahu aturan sekolah yang coba menjaga keselamatan. Kamu toh seorang boss yang tidak mau diatur kecuali ketika aku datang hendak mencabut nyawamu...
Dimatamu, guru-guru anakmu tak lebih dari pedagang yang berhitung untung dari nilai-nilai yang mereka keluarkan. Nilai bagus haruslah dibayar dengan bingkisan mahal. Kalau perlu segepok uang kau masukkan dalam amplop. Boleh amplop putih untuk melayat, amplop merah untuk kebahagiaan atau amplop coklat untuk suap; semuanya sama saja, yang penting isinya.
Matamu menelanjangi setiap guru perempuan untuk memperkirakan harga baju dalam yang mereka pakai. Dasar otakmu penuh dengan lumpur neraka!
Sekarang aku mulai mencari-cari nama mereka dalam buku tagihan nyawa yang aku dapatkan dari Malaikat Pengurus Pengangkutan Nyawa (MPPN). Sayang sekali ari banyak nama yang aku cari, hanya dua nama yang ada. Selidik punya selidik, banyak dari kamu yang mencoba menyuap TUHAN melalui para abdiNYA. Dasar businessman!
Aku harus menunggu untuk panenanku kelak. Untuk sekarang, dua orang yang akan aku hampiri sudah cukuplah. Lihat! mereka menggigil ketakutan.
Hah! menjijikkan dan memalukan! segede dan setua ini belum sunat!
salam dari aku si pencabut nyawa!