Minggu, 13 April 2008

GADO-GADO INDONESIA DALAM RAMALAN (2)

Setelah melihat bagaimana carut marutnya ekonomi Indonesia karena segelintir orang yang bermain dalam perekonomian kita, sekarang tiba saatnya untuk melihat sisi pembauran masyarakat 'gado-gado' Indonesia.
Semua orang pasti mengerti susunan kelompok masyarakat dalam Indonesia. Susunan paling bawah dan paling menguasai adalah masyarakat miskin dan kurang berpendidikan. Maaf apabila kasar. Susunan selanjutnya adalah masyarakat menengah lapis bawah. Untuk dipahami, masyarakat menengah dibagi menjadi dua lapis. Pada lapis bawah, kebanyakan mereka adalah berpendidikan dibawah S1 dan minimal SMA dengan daya beli cukup baik. Lapis kedua adalah kalangan menegah lapis atas. Disini bercokol para profesional yang dalam hal keuangan cukup aman karena pekerjaan mereka cukup menghasilkan rupiah yang masih tersisa untuk investasi lainnya. Kebanyakan orang pada lapis atas kelas menengah ini adalah para manager, dokter, guru level-level tertentu dan pengusaha dalam lingkup kota.
Pada masyarakat selanjutnya adalah masyarakat papan atas. Tentu saja kita sudah bisa membayangkan sedikit seperti apa orang-orang di kalangan tersebut. Para pejabat dengan fasilitas jabatan yang lengkap, wakil rakyat, pengusaha kelas kakap dan juga termasuk didalamnya adalah koruptor kelas wahid.
Budaya mengekor gaya hidup televisi kiranya cukup mewakili keretakkan-keretakkan dalam masyarakat 'gado-gado' Indonesia. Di banyak jalan di Jakarta, para kelas menengah lapis atas sering cukup pro-aktif mempertontonkan gaya hidup hedonisme tersebut. Mobil completely built up dengan dandanan necis dan harum mewakili keinginan mereka untuk diterima di percaturan masyarakat papan atas. Sementara dari gaya bicara, mereka ingin terus memimpin masyarakat kelas dibawahnya. Masyarakat papan atas juga tidak mau ketinggalan. penampilan mereka di majalah fashion dari peragaan busana sampai peristiwa launching suatu produk, bahkan suasana keagamaan yang menonjolkan ke-elegan-nan gaya hidup mereka diumbar dengan enteng. Ketika berada di jalan-jalan ibu kota, jelaslah tempat mereka yang khusus. Hotel mewah, club house yang sekali tenggak minuman beralkohol bisa satu juta rupiah, butik perancang mode ternama, pusat perbelanjaan internasional, salon khusu member dan masih banyak lagi tempat 'hang out' yang wah yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Saya khawatir anda semua iri.
Gaya hidup tersebut coba diikuti juga oleh mereka yang sangat teramat miskin. Tentu saja jadinya terlihat tolol dan mengada-ada.
Hanya saja ketika kebosanan, keirian menghampiri; maka mau tidakmau kriminalitas beranjak. Oleh karenanya jangan heran apabila di beberapa media massa diberitakan tentang perampokan dan pembunuhan demi mendapatkan harta.
Parahnya, mereka yang kaya ini sering mengidentikkan diri mereka sebagai orang yang baik dan berbudi. Berpikir bahwa banyak sekali sumbangan yang sudah mereka berikan melalui panti-panti asuhan dan saluran bantuan lainnya, mereka merasa aman. Merasa sudah banyak membantu aparat, mereka pikir sudah terperhatikan. Namun sayangnya dalam hukum alam 'ketika semuanya terlambat', halitu tidak bisa dijaminkan seratus persen.
Orang butuh makan dan juga haus akan gaya perilaku mereka yang sepertinya 'mencret' uang. Itu sangat alamiah.
Manusia dibekali sifat pencemburu.
Lingkup ruang keagamaan tidaklah cukup. Ketika kita mempraktekkan agama kita dalam lingkup "REAL ESTATE" kita, maka kita sangatlah kurang peka.
Real Estate menjauhkan fungsi kita sebagai manusia nyata dan sebagai bagian dari masyarakat 'gado-gado' yang penuh 'goda-goda'. Lingkup ruang dimana selalu ada pembantu dan sopir yang secara lahiriah dan batiniah menderita, tidak menolong kita untuk memiliki kekuatan doa. Semua doa dan pujian kita sudah mendapatkan 'reward' alngsung dari Tuhan. Reward itu tidak untuk kerajaanNya.
Memang sangat susah dipahami.
Lagi-lagi saya harus jujur bahwa orang Indonesia ini sangat memperhatikan warna kulit dan bentuk mata. Sekali anda berkulit kuning dan bermata sipit dan tampangnya 'cukong' banget, pastilah benih kecemburuan itu mulai bersemi. Ketika anda tidak membaur dengan tulus, kecemburuan itu makin berkobar. Ketika anda berbicara seenaknya, kecemburuan itu semakin memuncak.
Hal yang TIDAK ADIL adalah, ketika anda baik hati, mereka yang berkulit sawo matang itu memanfaatkan anda. Ketika anda berbaur, mereka menganggap anda cari kesempatan untuk ambil untung dari mereka. Ketika anda berbicara dengan halus, mereka membalasnya dengan bahasa dungu.
Hal yang PERLU DIPAHAMI adalah, mereka-meraka itu dari kalangan bawah yang sangat-sangat kurang segalanya. Kurang disini adalah kurang kaya, kurang berpendidikan, kurang fasilitas, kurang tata krama dan kurang ajar! Sangat jelas darimana kecemburuan mereka. Mereka tidak mau tahu bagaimana anda bekerja siang dan malam untukmewujudkan impian anda. Yang mereka tahu, gaya anda SAAT ITU menyebalkan. Kecemburuan tidak mau tahu tentang latar belakang. Camkanlah itu!
salam,
PS: Bagian selanjutnya akan membahas bagaimana kita hendak mewujudkan Indonesia baru Sangat susah!

Kamis, 10 April 2008

GADO-GADO INDONESIA DALAM RAMALAN (1)

Judulnya aneh? Tentu saja. Kalau tidak aneh, tidak asyik untuk dibaca.

Judul dengan kata "gado-gado" menunjukkan betapa aneka macam jenis sayur yang ada di makanan bernama gado-gado sedikit banyak merefleksikan Indonesia.

Mengenai kata ramalan, mungkin disini saya mencoba menguji 'sense' ramal-meramal juga. Hohohoho...siapa tahu bisa menyaingi Ki Joko Bodo atau mama Lauren.

Melihat menu gado-gado, tentunya kita tergoda untuk mencampurnya lalu melahap dan merasakan kenikmatannya. Sama dengan ketika kita masuk dan larut dalam beraneka ragam manusia Indonesia dengan segala perbedaannya. Sangatlah nikmat ketika kita hendak bepergian, contohnya. Ketika keluar dari rumah dan memanggil seorang abang becak, terdengar aksen Jawa Tengah. Lalu ketika sampai di gang depan kompleks dan hendak naik angkot, terdengar teriakan kenek atau sopir angkot dengan logat Batak. Saat kita duduk di dalam angkot, seseorang di sebelah kita ternyata adalah orang Manado. Begitu turun dari angkot dan masuk ke sebuah mal misalnya, mata kita bisa saja tertumbuk pada seorang SPG yang melihat wajah dan logat bicaranya adalah orang Sunda. Betapa nikmatnya dan kayaknya perjalanan kita.
Namun yang namanya gado-gado bisa jadi tidak mengenakkan. Ketika yang membuat saus gado-gado itu menambahkan cabai yang lumayan banyak, timbulah rasa pedas yang mengharu biru. Air segera dicari untuk memadamkan kebakaran tanpa api tersebut. Hanya saja, orang bilang rasa pedas tidak membuat orang jera, melainkan ingin menambah terus-menerus dengan pengalaman pedas itu sampai akhirnya bisa terkapar di rumah sakit karena ususnya tercabik-cabik.

Demikian juga orang Indonesia. Saus gado-gado yang saya ibaratkan sebuah sulutan akan gesekan dalam masyarakat, tampaknya tidak pernah membuat kita jera. Siapapun paham bahwa saking heterogennya orang Indonesia, budaya 'semau gue' semakin dalam. Orang dengan seenaknya membangun perumahan elit dipagari tembok beton. Sementara itu, diluar tembok beton itu terlihat mereka yang berpakaian seadanya, kucel, bau dan tersingkir. Ketika himpitan ekonomi dan himpitan perasaan setelah sekian lama melihat mereka yang berduit dan bermobil berlalu-lalang tidak tertahankan, mereka akan merangsek pagar beton itu. Orang akan sibuk dengan keadaan gawat tersebut. Kerusuhan menjadi judul setiap headline surat kabar kelas kakap sampai kelas gurem. Orang akan merasa tercekam dalam situasi 'chaos'. Sementara mereka yang berduit dapat antri di bandara, mereka yang berduit pas-pasan - namun dengan gaya hidup elit - tersuruk-suruk di jalan-jalan ibu kota dengan banyak ancaman terhadap keselamatan jiwa anak dan istri.

Hal seperti itu sudah sering terjadi di indonesia. Tapi mana ada yang jera? Etnis yang paling banyak ditindas ketika terjadi kerusuhan tentu saja etnis Tioghoa. Hanya saja, jangan salah lihat. Di beberapa tempat banyak juga etnis Tionghoa yang survive dalam keadaan apapun karena mereka ini membaur dan menganggap diri sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan. Mereka memarjinalkan dirinya. Menemukan mereka yang seperti itu sangatlah susah!

Tidak berapa lama lagi kejadian 1998 akan terjadi lagi. Mengapa demikian? Dalam carut marutnya ekonomi Indonesia, para elit ekonomi yang kebanyakan adalah etnis Tionghoa tidak pernah mau belajar. Mereka tahu bahwa mereka akan survive karena sudah membayar mahal para oknum aparat yang mereka bisa beli. Hanya saja apakah kesetiaan dapat diukur oleh uang? ketika banyak orang terdesak oleh keadaan, maka banyaklah bunglon-bunglon baru bermunculan. Lihat kembali tahun 1998. semoga di tahun 2012, Indonesia tidak akan mengulang kejadian tersebut - atau bahkan letupan itu terjadi dalam waktu dekat ini? Semoga tidak.

Pada seri berikutnya, saya akan menulis tentang bagaimana gesekan negeri Gado-gado ini dalam sudut pandang hubungan antar agama.



salam!

Rabu, 02 April 2008

MERASAKAN KEHIDUPAN ORANG LAIN DAN MENGHIDUPKAN PERASAAN ORANG LAIN

MERASAKAN KEHIDUPAN ORANG LAIN
DAN MENGHIDUPKAN PERASAAN ORANG LAIN
Dalam kehidupan kita, apa yang kita rasakan seringkali tidak terselami oleh orang lain. Diri kita ini adalah sebuah karya misteri Allah. Namun ada kalanya, kita mencoba membuat perkiraan-perkiraan tentang hidup, pikiran, motif perbuatan dan reaksi orang lain sesuai dengan temuan-temuan kita. Hanya saja, apakah perkiraan-perkiraan itu benar 100% atau hanya hasil akhir sajakah yang dapat kita gambarkan? Kita tidak pernah tahu.

Temuan-temuan yang kita anggap menjadi pendukung asumsi atau bahkan mungkin kesimpulan bisa jadi adalah suatu kebetulan. Beberapa tahun yang lalu, saya dapat dengan tenang duduk pada suatu warung makan yang di dalamnya beterbangan banyak lalat. Namun perasaan tenang itu sekarang berganti seiring semakin jarangnya saya mengalami hal tersebut. Para ahli mempunyai pendapat mereka masing-masing sesuai keahlian mereka. Hanya satu hal yang saya pikir benar, saya sudah tidak bersentuhan dengan kehidupan itu secara intens. Itu berarti saya masih bisa masuk pada kehidupan seperti itu apabila ada kesempatan dan intensitas seperti pada masa itu.

Hal di atas adalah untuk menggambarkan betapa saya mencoba untuk merasakan kehidupan dan perasaan orang lain. Ketika seorang teman kehilangan ayah atau ibunya, saya mencoba untuk memberikan penghiburan seolah-olah saya tahu benar kesedihan yang ia alami. Teman itu berkata bahwa saya tidak tahu apa yang ia rasakan. Bagi saya, dia benar. Saya tidak mungkin berkata bahwa saya paham apa yang dia rasakan. Terlebih saya belum pernah merasakan pengalaman ditinggalkan oleh kepergian orang tua.

Apa yang saya tunjukkan kepada teman saya adalah suatu ungkapan manusiawi seorang manusia. Orang boleh saja memetakan kemiskinan di sekitarnya, tetapi itu hanyalah pemetaan fisik semata. Orang boleh juga mengatakan bahwa suatu tempat memiliki sifat masyarakat ini dan itu, tetapi itu bukan berarti sifat itu dimiliki semua individu. Pemakluman umum mengaburkan pemakluman individu.

Seorang pejabat yang mencoba memahami kesengsaraan masyarakat dibawahnya pasti akan dapat memahami kepedihan hidup mereka. Hanya saja, pejabat itu tidak dapat merasakan dengan sebenar-benarnya karena tidak adanya intensitas terjun dalam hidup mereka. Seorang pengusaha yang mengantarkan anaknya ke sekolah, mungkin secara fisik ada di dalam mobil bersama dengan anaknya. Tapi apakah kita yakin ia memfokuskan dirinya untuk anaknya atau sebenarnya pikirannya melayang pada urusan di kantor? Bahkan ketika kita adalah sepasang suami-istri, apa yang dipikirkan istri atau suami kita tetap adalah misteri yang tak terselami. Hingga kalimat-kalimat meluncur dari mulut seseorang, proses keluarnya kalimat itu masih sebuah misteri.

Oleh karenanya, sangat aneh ketika kita mendengar seseorang berkata,“aku paham perasaanmu“. Apakah yang ia pahami? Yang ia pahami sebenarnya adalah tingkah laku saja. Perasaan tetaplah tidak terselami.

Salam,