Kamis, 10 April 2008

GADO-GADO INDONESIA DALAM RAMALAN (1)

Judulnya aneh? Tentu saja. Kalau tidak aneh, tidak asyik untuk dibaca.

Judul dengan kata "gado-gado" menunjukkan betapa aneka macam jenis sayur yang ada di makanan bernama gado-gado sedikit banyak merefleksikan Indonesia.

Mengenai kata ramalan, mungkin disini saya mencoba menguji 'sense' ramal-meramal juga. Hohohoho...siapa tahu bisa menyaingi Ki Joko Bodo atau mama Lauren.

Melihat menu gado-gado, tentunya kita tergoda untuk mencampurnya lalu melahap dan merasakan kenikmatannya. Sama dengan ketika kita masuk dan larut dalam beraneka ragam manusia Indonesia dengan segala perbedaannya. Sangatlah nikmat ketika kita hendak bepergian, contohnya. Ketika keluar dari rumah dan memanggil seorang abang becak, terdengar aksen Jawa Tengah. Lalu ketika sampai di gang depan kompleks dan hendak naik angkot, terdengar teriakan kenek atau sopir angkot dengan logat Batak. Saat kita duduk di dalam angkot, seseorang di sebelah kita ternyata adalah orang Manado. Begitu turun dari angkot dan masuk ke sebuah mal misalnya, mata kita bisa saja tertumbuk pada seorang SPG yang melihat wajah dan logat bicaranya adalah orang Sunda. Betapa nikmatnya dan kayaknya perjalanan kita.
Namun yang namanya gado-gado bisa jadi tidak mengenakkan. Ketika yang membuat saus gado-gado itu menambahkan cabai yang lumayan banyak, timbulah rasa pedas yang mengharu biru. Air segera dicari untuk memadamkan kebakaran tanpa api tersebut. Hanya saja, orang bilang rasa pedas tidak membuat orang jera, melainkan ingin menambah terus-menerus dengan pengalaman pedas itu sampai akhirnya bisa terkapar di rumah sakit karena ususnya tercabik-cabik.

Demikian juga orang Indonesia. Saus gado-gado yang saya ibaratkan sebuah sulutan akan gesekan dalam masyarakat, tampaknya tidak pernah membuat kita jera. Siapapun paham bahwa saking heterogennya orang Indonesia, budaya 'semau gue' semakin dalam. Orang dengan seenaknya membangun perumahan elit dipagari tembok beton. Sementara itu, diluar tembok beton itu terlihat mereka yang berpakaian seadanya, kucel, bau dan tersingkir. Ketika himpitan ekonomi dan himpitan perasaan setelah sekian lama melihat mereka yang berduit dan bermobil berlalu-lalang tidak tertahankan, mereka akan merangsek pagar beton itu. Orang akan sibuk dengan keadaan gawat tersebut. Kerusuhan menjadi judul setiap headline surat kabar kelas kakap sampai kelas gurem. Orang akan merasa tercekam dalam situasi 'chaos'. Sementara mereka yang berduit dapat antri di bandara, mereka yang berduit pas-pasan - namun dengan gaya hidup elit - tersuruk-suruk di jalan-jalan ibu kota dengan banyak ancaman terhadap keselamatan jiwa anak dan istri.

Hal seperti itu sudah sering terjadi di indonesia. Tapi mana ada yang jera? Etnis yang paling banyak ditindas ketika terjadi kerusuhan tentu saja etnis Tioghoa. Hanya saja, jangan salah lihat. Di beberapa tempat banyak juga etnis Tionghoa yang survive dalam keadaan apapun karena mereka ini membaur dan menganggap diri sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan. Mereka memarjinalkan dirinya. Menemukan mereka yang seperti itu sangatlah susah!

Tidak berapa lama lagi kejadian 1998 akan terjadi lagi. Mengapa demikian? Dalam carut marutnya ekonomi Indonesia, para elit ekonomi yang kebanyakan adalah etnis Tionghoa tidak pernah mau belajar. Mereka tahu bahwa mereka akan survive karena sudah membayar mahal para oknum aparat yang mereka bisa beli. Hanya saja apakah kesetiaan dapat diukur oleh uang? ketika banyak orang terdesak oleh keadaan, maka banyaklah bunglon-bunglon baru bermunculan. Lihat kembali tahun 1998. semoga di tahun 2012, Indonesia tidak akan mengulang kejadian tersebut - atau bahkan letupan itu terjadi dalam waktu dekat ini? Semoga tidak.

Pada seri berikutnya, saya akan menulis tentang bagaimana gesekan negeri Gado-gado ini dalam sudut pandang hubungan antar agama.



salam!

Tidak ada komentar: